ILMU PERNASKAHAN ATAU
KODIKOLOGI
Istilah kodikologi berasal dari bahasa Latin, yaitu
codex (bentuk tunggal; bentuk jamak ialah codices) yang di dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi naskah, bukan menjadi kodeks.
Dahulu, kata caudex atau codex dalam ahasa Latin
menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis;
pada dasarnya, kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata codex kemidian di
dalam berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk
naskah (Diringer; 1982: 35-36).
Robson (1978:26) menyebut kodikologi sebagai
‘pelajaran naskah’, sedangkan Raried menguraikan sebagai berikut “Kodikologi
ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan. Kodikologi mempelajari
seluk beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan
perkiraan penulis naskah (1985:55).
Hermans dan Huismans (1979/1980:6) menjelaskahn
bahwa istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa
Yunani, Alphonse Dain. Dain sendiri menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu
mengenai naskah-askah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis apa
yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa walaupun kata ini
baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.
Selanjutnya dikatakannya bahwatugas dan daerah
kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian
mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog,
penyusunan daftar catalog, perdagangan naskah, dan oenggunaan naskah-naskah itu
(Dain, 1975:77).
di dalam kodikologi atau
ilmu pernaskaan juga di dalam ilmu filologi kita harus membedakan antara ata
naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan
teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks
merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud
fisiknya.
SITUASI PERNASKAHAN DI INDONESIA
Pada waktu ini yang palaing
banyak menyipan naskah dalam berbagai bahasa daerah ialah Perpustakaan Nasional
di Jakarta. Noegraha mencatat bahwa naskah yang tersimpan di dalamnya mencapai 9626 naskah yang tertulis
dalam bahasa Aceh, Bali, Batak, Bugis, Makasar, Jawa, Jawa Kuna, Madura,
Melayu, Sunda, dan Ternate. Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan
Nasional merupakan pindahan dari Museum Nasional pada tahun 1989 (Noegraha,
1992:1-3).
Tak hanya bahasa daerah yang
beraneka ragam, tetapi yang yang tersimpan di dalam Perpustakaan Nasional di
Jakarta terdapat juga huruf daerah yang beraneka ragam, seperti huruf rencong
dari daerah Kerinci yang telah digunakan sebelum huruf Arab Melayu. Ada pula
huruf Batak, huruf rencong Rejang atau Melayu Tengah (Ka-Ga-Nga), huruf
Lampung, huruf Sunda, huruf Madura, huruf Bali, Sasak, Bima, Ende, Bugis, Makassar,
Jawa, Arab dan Latin.
Pada saat ini pula, banyak
naskah-naskah yang tersimpan di museum-museum dan perpustakaan daerah, juga tak
sedikit pula yang menjadi koleksi pribadi. Kita juga tidak dapat memungkiri,
banyak juga naskah yang tersebar di luar negeri, yaitu ada di Belanda, Inggris,
Suriname, Jerman, Australia, Perancis, dan Negara-negara lain yang pernah
singgah di Indonesia yang juga membawa naskah-naskah nusantara.
DUNIA NASKAH MELAYU
Naskah Melayu ialah naskah
yang kanungan atau teksnya ditulis dalam bahasa Melayu. Huruf yang dipergunakan
di dalam naskah Melayu, pada umumnya ialah huruf Arab Melayu yang disebut juga
huruf Jawi. Umumnya naskah-naskah Melayu di Indonesia di Luar Perpustakaan
Nasional terdapat di museum-museum daerah, pesantren, masjid, yayasan, dan pada
keluarga-keluarga yang menyimpannya sebagai warisan nenek moyang yang biasanya
meraka juga menjaganya dengan ketat.
Sampai sekarang, belum ada
kejelasan mengenai jumlah naskah Melayu yang tersebar di seluruh dunia. Ismail
Hussein (1974:12), mengemukakan angka 5000, Chambert-Loir (1980:45)
mengemukakan jumlah 4000, dan Russell Jones sampai pada jumlah 10000 (Hussein,
1986:1).
Sampai sekarang, yang telah kita ketahui bahwa
naskah Melayu tersebar hampir di tiga puluh negara. Kedua puluh sembilan negara
tersebut adalah Indonesia, Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia,
Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Inggris,
Irlandia, Italia, Jerman Barat, Jerman Timur, Malaysia, Mesir, Singapura,
Norwegia, Polandia, Perancis, Rusia, Spanyol, Sri Langka, Swedia, Swiss, dan
Thailand. Jumlah ini
menjadi berkurang karena Jerman Barat dan Timur telah bersatu.
Naskah-naskah nusantara
tersebar di beberapa negara dengan beberapa cara, yaitu dengan cara damai dan dengan
cara kekerasan. Cara damai ditempuh dengan cara perdagangan naskah,ada pula
naskah yang berupa hadiah para pembesar di Indonesia pada waktu dulu pada
anggota pemerintah Inggris ataupun Belanda pada masa silam, sedangkan cara
kekerasan yaitu seperti cara yang dilakukan Belanda saat menjajah Indonesia,
dan merampas naskah-naskah yang ada di Indonesia, termasuk di Jawa.
NASKAH MELAYU DI INDONESIA
Data terakhir menunjukkan
bahwa jumlah naskah Melayu saat ini yang berada di Perpustakaan Nasional adalah
1346 (Noegraha, 1992:5). Di Aceh, sejumlah naskah terdapat di Pesastren Tanoh
Abee (Abdullah dan al-Fairusi, 1980). Naskah-naskah Melayu yang ada di Riau
hanya tertinggal sisa-sisanya saja dari jaman kegemilangan Kerajaan Riau pada
abad 18 da 19.
Setelah dirunut seluruh
pendataannya, nampaknya istilah naskah dipakai dalam pengertian yang lebih
luas. Batasan yang dipakai sebagai patokan di dalam tulisan ini adalah naskah
sebagai objek penelitian dalam kodikologi yang berupa kodeks atau naskah, yaitu
manuskrip yang ditulis dengan tangan.
NASKAH MELAYU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL, JAKARTA
Orang yang pertama-tama
mendaftarkan naskah-naskah Melayu yang sekarang tersimpan di Perpustakaan
Nasional, Jakarta, ialah A.B. Cohen Stuart,1871 yang seluruhnya berjumlah
76 (Van Rokel,1909:I). Di dalam prakata katalogus-nya, Ronkel selanjutnya
mengutarakan masalah sekitar 919 naskAh yang didaftarkannya (Van
Ronkel,1909:I-III).Menurut catatan Pudentia sebenarnya ada 921 buah (Pudentia,1991:19).Yang
terdaftar di dalam katalogus Van Ronkel (1909) itu ialah naskah-naskah yang
terdaftar oleh Cohen Stuart yang tersebut tadi.
Di samping koleksi-koleksi Cohen Stuart, Von de Wall, dan
Brandes, terdapat naskah-naskah yang dibeli, dihadiahkan, dan dipinjamkan
kepada Bataviaasch Genootschap. Naskah ini berturut-turut dicatat dengan
inisial C.st.,W., dan Bat. Gen.; kemudian menyusul nomor urutnya.
Terbitan lain
mengenai naskah Melayu ialah Unsur Sejarah dalam naskah Melayu Koleksi Museum
Nasional (Jusuf,1987/1988). Di dalamnya terdapat facsimile yang diperkecil dari
sehelai atau dua helai yang diambil dari naskah-naskah tentang Sejarah Melayu, Hikayat
Banjar dan Kotawaruingin, dan Syair Menteng.
TIGA
DAFTAR NASKAH MELAYU YANG TERTUA
Ada tiga daftar tua mengenai naskah-naskah Melayu yang
telah ada pada tahun-tahun 1696,1726,dan 1736 (issac de St.Martin
,Valentijn,Werndly).
1. Naskah
peninggalan Isaach de St.Martin (1696) terdapat 89 naskah
2. Naskah
dalam tulisan Valentijn (1726) terdapat 23 naskah
3. Naskah
dalam tulisan Werndly (1736) terdapat 69 buah dan ada tambahan 8 judul naskah
di halaman terakhir
DAFTAR, KATALOGUS, DAN
DESKRIPSI NASKAH MELAYU
Suatu katalogus naskah itu
jauh lebih terurai dari suatu daftar naskah. Sebagai contoh, katalogus
naskah Melayu yang ada di Jakarta, katalogus susunan Ph.S. van RONKEL (1909). Katalogus
ini adalah katalogus yang terurai mengenai naskah-naskah yang tercatat di
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jakarta. Sekarang
naskah-naskah itu ada di Perpustakaan Nasional,Jakarta.
Data yang
dijaring dari 919 naskah ialah butir-butir berikut:
1.
Panjang dan lebar
halaman naskah dalam cm
2.
Jumlah halaman
3.
Jumlah
baris rata-rata satu halaman
4.
Huruf yang dipakai
bukan huruf Arab Melayu
5.
Tempat
dan tanggal naskah ditulis,kalau ada
6.
Asal naskah, kalau ada
7.
Sebutan di dalam Notulen Bataviaasch Genootschap (NBG), kalau diketahui
8.
Isi secara singkat (ada
yang tercangkup dalam satu baris saja,ada yang sampai beberapa
halaman;kadang-kadang dicantumkan pula kutipan dalam huruf Arab Melayu)
mengenai awal dan akhir teks serta kolofon.
9.
Yang pernah
membicarakan naskah itu
10. Naskah-naskah
lain dengan judul yang sama yang terdapat di berbagai kota dan lembaga ditempat
lain.
Sampai sekarang, katalogus yang memuat
data lengkap mengenai naskah-naskah dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia
tersebar di berbagai tempat di suatu Negara, ialah katalogus susunan
Juynboll (1899) serta Ricklefs dan Voorhoeve (1977 dan 1982). Katalogus ini
mendaftarkan semua naskah Indonesia yang disimpan didalam berbagai perpustakaan
di Inggris yang seluruhnya meliputi lebih dari 1.200 entri yang tersimpan pada
dua puluh empat lembaga di sepuluh kota.Data dijaring dari naskah-naskah itu
akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Judul
atau catatan mengenai isi
2.
Pengarang,penyalin,dan
atau pemilik yang disebut di dalam naskah
3.
Tanggal dan tempat
penulisan.Tahun-tahun dalam perhitungan tahun Hijriah (A.H.) atau A.J.)
biasanya hanya diikuti oleh tahun Masehi (A.D.)
4.
Jenis huruf yang
dipakai didalam naskah
5.
Ukuran
halaman naskah (folio atau kuarto)
6.
Jumlah halaan dalam
naskah
7.
Alas naskah yang
digunakan
8.
Jumlah baris pada
setiap halaman
9.
Kondisi
naskah,khususnya kalau tidak bagus
10. Semua
publikasi yang mengacu ke naskah (teks) yang bersangkutan
11. Tanggal
pemerolehan oleh lembaga tempat menyimpan naskah
12. Pengacuan
ke naskah-naskah dan publikasi yang ada kaitannya
13. Catatan-catatan
lain :bentuk prosa (P) atau puisi (V) dalam naskah-naskah jawa, jumlah kanto dalam
karya puisi jawa; jumlah
baris dalam setiap halaman pada syair Melayu, dekorasi, dll.
Berbagai data dari naskah-naskah yang hendak
dideskripsi antara lain:
a)
Judul naskah
b)
Tempat penyimpanan
naskah
c)
Nomor naskah
d) Ukuran
halaman
e)
Jumlah halaman
f)
Jumlah baris
g)
Panjang baris
h)
Huruf
i)
Bahasa
j)
Kertas
k)
Cap kertas
l)
Garis tebal dan garis
tipis
m) Kuras
n)
Panduan
o)
Pengarang, penyalin, tempat dan tanggal
penulisan naskah
p)
Keadaan naskah
q)
Pemilik naskah
r)
Pemerolehan naskah
s)
Gambar atau ilustrasi
t)
Isi naskah
u)
Catatan lain
ALAS
NASKAH DI INDONESIA
Yang disebut dengan alas naskah ialah sesuatu yang
dipakai untuk menulis sehingga berbentuk suatu naskah. Jumsari Jusuf mencatat
bahwa naskah-naskah di Indonesia memakai kertas daluwang, daun lontar, daun
nipah, kulit kayu, bamboo, dan rotan (Jusuf, 1982/1983:11).
Daluwang atau yang disebut kertas daluwang ialah kertas
yang dibuat dengan kayu sebagai campuran (Soetikna, 1939:191—194; Noorduyn, 1965:
472—473). Daun lontar, daun lontar sampai sekarang ini masih dipakai di
daerah-daerah Bali dan Lombok. Daun lontar masih dipakai sampai abad ke-20. Daun
nipah, ada yang dipakai untuk menulis naskah, diantaranya untuk naskah-naskah
Sunda.
Naskah-naskah di Batak memanfaatkan kulit kayu sebagai
alas naskah. Benda yang selalu dipakai sebagai contoh ialah pustaha, yaitu semavcam
buku dari kulit kayu yang dilipat-lipat seperti akordeon, yang isinya antara
lain doa, petunjuk membuat obat, dan cara menolak bala.
Bamboo dipakai
dalam berbagai bentuk; ada yang bulat (satu—lima ruas), ada yang setengah
bulat, dan ada yang pipih. Selain bamboo, dipakai pula rotan. Biasanya rotan
yang dipakai itu dalam bentuk bulat dan agak panjang. Ada alas naskah lain yang
disebut oleh Atja untuk naskah Sunda, antara lain : janur, daun enau, daun
pandan, (Atja dalam Ekadjati et al;1988:9).
DAYA
TAHAN NASKAH
Diperkirakan bahwa iklim yang panas dan lembab di
Indonesia membuat naskah-naskah kurang bertahan lama dibandingkan dengan
naskah-naskah yang sekarang disimpan di negara barat. Russell Jones pernah
mengutarakan pendapatnya bahwa jarang ada naskah yang dapat bertahan lebih dari
dua abad karena faktor iklim (Jones, 1974). Dari abad ke-17 dan ke-18 masih
dipakai untuk menulis peristiwa-peristiwa yang terjadi sampai tahun 1871 dan
1891.
PENULISAN,
PENYALINAN DAN PENYEWAAN
Penulis-penulis naskah di Indonesia, baik penulis naskah
Melayu maupun penulis naskah dalam berbagai bahasa Daerah,sebagian besar tidak
mencantumkan namanya. Hanya beberapa saja nama penulis dapat kita ketahui,
biasanya tercantum di dalam kolofon. Di dalam kolofon ini, di samping nama
penulis atau penyalin naskah, daat pula kita temukan tanggal dan tahun
penulisan, tempat penulisan, bahkan kadang-kadang ada pula permintaan kepada
pembaca untuk memperbaiki hasil kerjanya.
Penulis dan penyain naskah terdapat di dalam berbagai
lapisan masyarakat, pria maupun wanita, secara terorganisasi maupun tidak, atas
inisiatif sendiri atau atas pesanan. Ada yang memang berprofesisebagai penulis
dan penyalin naskah. Di antara mereka, ada yang meminjamkan hasil karyanya
kepada masyarakat. Pada jaman lampau, kita dapat menjumpai penulis atau
pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik oleh
perorangan maupun pemerintah Belanda maupun Inggris.
Tradisi penyalinan naskah Melayu dan begitu juga dalam
penyalinan naskah-naskah lain di Indonesia sangat berlainan dengan tradisi
penyalinan di dunia Barat yang ketat, sampai-sampai kesalahan pun harus disalin
seperti apa adanya. Penyalin naskah di Indonesia mempunyai kebebasan. Dia dapat
saja memperbaiki yang dianggap salah di dalam naskah yang disalinnya, mengubah,
menambah, dan mengurangi di sana-sini menurut seleranya.
Pada abad ke-19, di beberapa daerah di Indonesia terdapat
temat-tempat peminjaman naskah yang di dalam berbagai tulisan disebut taman
bacaan rakyat. Adanya tempat-tempat seperti itu tentulah menunjukkan bahwa
masyarakat meminjam naskah untuk dibaca sendiri atau dibacakan di depan
sekelompok pendengar.
CAP
KERTAS
Yang dimaksud dengan cap kertas (water mark) ialah
semacam ‘gambar’ pada kertas yang dapat kita lihat dengan nyat, jika kita lihat
di tempat yang ada sinar matahari atau lampu dan yang juga terdapat pada uang
kertas dan perangko. Jika kita lihat kertas itu di tempat yang terang akan
terlihat jelas tampak garis-garis tipis. Kalau dihitung, persentimeter terdapat
8-12 garis tipis (laid lines). Jika kita lihat bahwa garis-garis tipis ini
dalam posisi horisontal, dapat kita lihat pula garis-garis vertikal yang
biasanya berjarak sekitar 2,5 cm. Garis-garis ini disebut dengan garis tebal (chain line).
ILUMINASI
DALAM NASKAH-NASKAH MELAYU
Secara umum dapat dikatakan bahwa naskah-naskah Melayu
sangat sedikit yang bergambar dibandingkan dengan naskah-naskah Jawa dan Bali.
Hiasa di dalam naskah-naskah dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu hiasan
bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan munkin juga pada halaman
akhir (ilumiasi) dan hiasan yang mendukung teks (ilustrasi).
Keindahan gambar berwarna-warni diselang-seling dengan
tinta emas dan perak pada surat-surat, yang ditulis pada alas naskah yang
bertabur emas, sungguh dapat menimbulkan rasa kekaguman pada seni menggambar
dan menulis pada jaman dahulu.
KOLOFON
DAN PENGANGGALAN
Didalam suatu naskah tidak selalu terdapat nama penulis,
penyalin, atau keterangan lain. Informasi semacam itu biasanya ditemukan pada halaman
judul, sebelum awal teks, atau pada akhir teks. Selain itu kita dapat
memperoleh keterangan lain seperti tempat penulisan, tanggal, dsb. Hal semacam
inilah yang disebut sebagai kolofon. Namun ada beberapa naskah yang memiliki
kolofon menyebutkan informasi naskah dengan lengkap, seperti nama penulis, nama
penyalin dan keterangan-keterangan lainnya. Dengan adanya kolofon ini
mempermudah peniliti dalam melakukan penelitian terhadap suatu naskah, akan
tetapi dengan adanya kolofon ini terkadang juga memperingatkan kepada sang
peneliti agar hati-hati dalam memperlakukan naskah. Kolofon dapat ditulis dalam
dua tiga kalimat saja, tetapi ada yang berupa syair yang kadang-kadang berbait
panjangnya.
Penanggalan yang terdapat pada naskah biasanya terdapat
pada kolofon. Biasanya ditambahkan juga penanggalan menurut tahun hijriyah
terutama didalam naskah yang muda selain itu juga dicantumkan penanggalan
menurut masehi. Jika ada perbedaan atau mungkin kesalahan dalam [erhitungan
tanggal, itulah sebagai tugas sang filolog untuk meneliti atau untuk
mengeceknya.
KEMUSNAHAN
DAN PEMUSNAHAN NASKAH DI INDONESIA
Kemusnahan dan pemusnahan naskah itu memilik arti dan
maksud serta makna yang berbeda. Kemusnahan naskah atau hilangnya naskah dari
bumi Indonesia disebabkan oleh hal-hal ynag tidak disengaja, sedangkan
pemusnahan naskah ialah akibat dari ulah manusia itu sendiri, baik disengaja
ataupun tidak disengaja.
Kerusakan naskah naskah yang terjadi di Indonesia,
biasanya disebabkan oleh kerusakan alas naskah
yang tidak tahan terhadap kelembaban udara sehingga seperti kertas,
lontar, dan nipah mudah rusak karena tidak dapat bertahan terhadap iklim.
Selain itu, kerusakan naskah juga disebabkan oleh serangga, selain itu juga ada
kemusnahan naskah yang disebabkan oleh kebakaran baik disengaja ataupun tidak
disengaja. Di Indonesia sendiri pun, pada jaman dahulu tidak jarang orang
melakukan perobekan pada naskah dan digunakan sebagai bahan campuran dalam
ramuan obat, karena pada saat itu naskah dianggap keramat. Pemusnahan naskah
dapat juga terjadi karena suasana politik pada perang Kemerdekaan yang
beranggggapan bahwa tulisan-tulisan lama itu berisi bid’ah.
NASKAH-NASKAH
INDONESIA DI INGGRIS
Inggris merupakan salah satu negara yang pernah menjajah
2 negara yang bertetangga yaitu Indonesia dan Malaysia, oleh sebab itu di
negara Inggris sendiri tersimpan banyak naskah yang berasal dari Indonesia dan
Malaysia. Katalogus susuna Ricklefs dan Voorhoeve (1977 dan 1982) merupakan
katalogus yang berisi lengkap tentang data-data Indonesia yang ada di seluruh
kota di Inggris. Gallop dan Arps
mencatat di dalam Golden Letters bahwa naskah Indonesia yang paling awal
tercatat di Inggris ialah dua naskah yang masing-masing ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno dan bahasa Sunda Kuno. Pada tahun 1627, naskah-naskah yang beralas
lontar itu disumbangkan oleh Andrew James kepada Perpustakaan Bodleian di
Universitas Oxford, dan menjadikan kedua naskah tersebut sebagai naskah yang
pertama memasuki koleksi umum di Inggris. Banyak diantara naskah-naskah yang
direkam di dalam rol mikrofilm yang pada zaman dahulu disalin di Yogyakarta itu
dihadiahkan oleh British Council memalui pemerintah Inggris kepada
Hamengkubuwana X. Pada awal tahun1991 mikrofilm tersebut dihadiahkan oleh
pemerintah Inggris kepada Pemerintah Indonesia, dan untuk pertama kalinya, pada
saat itulah mulai diadakannya pameran yang berisikan tentang naskah yang mulai
dipamerkan pada tempat asalnya naskah tersebut.
NASKAH-NASKAH
INDONESIA DI NEGERI BELANDA
Menurut pedataan yang dilakukan, dalam 22 tahun
pembendaharaan naskah melayu perpustakaan
Universitas Laiden, bertambah 767 buah. Pada tahun 1974, Ismail Husain
memperkirakan bahwa jumlah askah Perpustakaan Univesitas Laiden sudah mencapai
kurang lebih 1500 buah. Ismail Husain juga menyebutkan ada 500 naskah melayu
yang meliputi 800 judul yang kini dapat diteliti (Hussein, 1974 :11-12).
Di dalam katalogusnya (H. N. Van der Tuul) terdapat 378
naskah melayu dan 23 naskah Sunda, sehingga seluruhnya menjadi 401 naskah.
Setelah itu muncullah katalogus baru oleh Van Ronkel pada tahun 1921, yang
dibicarakan 767 naskah dan sesuain dengan judul katalognya, namun sebagian yang
dibicarakan yaitu naskah dari minangkabau.
Di luar perpustakaan Universitas Laiden, tempat lain yang
banyak memiliki naskah-naskah Melayu ialah Koninklijk Instituut voor Taal Land
En Volkenkunde (KITLV) di Laiden. Ganbaran mengenai naskah-naskah yang disimpan
disusun oleh Van Ronkel pada tahun 1908 yang terdapat 135 naskah dalam bahasa
Batak, Lampung, Jawa, dan sekitar 50 Melayu bahkan ada yang membicarakan bahasa
Belanda dalam bahasa Daerah. Di Perpustakaan Laiden terdapat berbagai macam
jenis naskah, ada naskah yang berasal dari Minangkabau, ada yang berasal dari
Batak, sedangkan yang terdapat di Nederland terdapat naskah naskah Makkasar dan
Bugis. Suatu karya terbesar yang berisi tentang katalogus menyeluruh mengenai
naskah-naskah jawa yang terdapat dibenda telah disusun oleh Theodore G.Th.
Pigeund dalam empat jilid (1967-1980). Yaitu (I) ringkasan karya sastra jawa,
900-1900M, (II) daftar-daftar deskriptif mengenai naskah-nskah Jawa di
Perpustakaan Universitan Laiden, (III) berbagai gambar, faksmile naskah, peta,
catatan, dan indeks nama serta pokok, (IV) tambahan.