Sabtu, 25 Februari 2017

KODIKOLOGI MELAYU DI INDONESIA (Dr. Sri Wulan Rujiati Mulyadi)



ILMU PERNASKAHAN ATAU KODIKOLOGI
Istilah kodikologi berasal dari bahasa Latin, yaitu codex (bentuk tunggal; bentuk jamak ialah codices) yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi naskah, bukan menjadi kodeks.
Dahulu, kata caudex atau codex dalam ahasa Latin menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis; pada dasarnya, kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata codex kemidian di dalam berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah (Diringer; 1982: 35-36).
Robson (1978:26) menyebut kodikologi sebagai ‘pelajaran naskah’, sedangkan Raried menguraikan sebagai berikut “Kodikologi ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan. Kodikologi mempelajari seluk beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah (1985:55).
Hermans dan Huismans (1979/1980:6) menjelaskahn bahwa istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain. Dain sendiri menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-askah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis apa yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa walaupun kata ini baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.
Selanjutnya dikatakannya bahwatugas dan daerah kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar catalog, perdagangan naskah, dan oenggunaan naskah-naskah itu (Dain, 1975:77).
di dalam kodikologi atau ilmu pernaskaan juga di dalam ilmu filologi kita harus membedakan antara ata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya.

SITUASI PERNASKAHAN DI INDONESIA
Pada waktu ini yang palaing banyak menyipan naskah dalam berbagai bahasa daerah ialah Perpustakaan Nasional di Jakarta. Noegraha mencatat bahwa naskah yang tersimpan di  dalamnya mencapai 9626 naskah yang tertulis dalam bahasa Aceh, Bali, Batak, Bugis, Makasar, Jawa, Jawa Kuna, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate. Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional merupakan pindahan dari Museum Nasional pada tahun 1989 (Noegraha, 1992:1-3).
Tak hanya bahasa daerah yang beraneka ragam, tetapi yang yang tersimpan di dalam Perpustakaan Nasional di Jakarta terdapat juga huruf daerah yang beraneka ragam, seperti huruf rencong dari daerah Kerinci yang telah digunakan sebelum huruf Arab Melayu. Ada pula huruf Batak, huruf rencong Rejang atau Melayu Tengah (Ka-Ga-Nga), huruf Lampung, huruf Sunda, huruf Madura, huruf Bali, Sasak, Bima, Ende, Bugis, Makassar, Jawa, Arab dan Latin.
Pada saat ini pula, banyak naskah-naskah yang tersimpan di museum-museum dan perpustakaan daerah, juga tak sedikit pula yang menjadi koleksi pribadi. Kita juga tidak dapat memungkiri, banyak juga naskah yang tersebar di luar negeri, yaitu ada di Belanda, Inggris, Suriname, Jerman, Australia, Perancis, dan Negara-negara lain yang pernah singgah di Indonesia yang juga membawa naskah-naskah nusantara.

DUNIA NASKAH MELAYU
Naskah Melayu ialah naskah yang kanungan atau teksnya ditulis dalam bahasa Melayu. Huruf yang dipergunakan di dalam naskah Melayu, pada umumnya ialah huruf Arab Melayu yang disebut juga huruf Jawi. Umumnya naskah-naskah Melayu di Indonesia di Luar Perpustakaan Nasional terdapat di museum-museum daerah, pesantren, masjid, yayasan, dan pada keluarga-keluarga yang menyimpannya sebagai warisan nenek moyang yang biasanya meraka juga menjaganya dengan ketat.
Sampai sekarang, belum ada kejelasan mengenai jumlah naskah Melayu yang tersebar di seluruh dunia. Ismail Hussein (1974:12), mengemukakan angka 5000, Chambert-Loir (1980:45) mengemukakan jumlah 4000, dan Russell Jones sampai pada jumlah 10000 (Hussein, 1986:1).
Sampai sekarang, yang telah kita ketahui bahwa naskah Melayu tersebar hampir di tiga puluh negara. Kedua puluh sembilan negara tersebut adalah Indonesia, Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman Barat, Jerman Timur, Malaysia, Mesir, Singapura, Norwegia, Polandia, Perancis, Rusia, Spanyol, Sri Langka, Swedia, Swiss, dan Thailand. Jumlah ini menjadi berkurang karena Jerman Barat dan Timur telah bersatu.
Naskah-naskah nusantara tersebar di beberapa negara dengan beberapa cara, yaitu dengan cara damai dan dengan cara kekerasan. Cara damai ditempuh dengan cara perdagangan naskah,ada pula naskah yang berupa hadiah para pembesar di Indonesia pada waktu dulu pada anggota pemerintah Inggris ataupun Belanda pada masa silam, sedangkan cara kekerasan yaitu seperti cara yang dilakukan Belanda saat menjajah Indonesia, dan merampas naskah-naskah yang ada di Indonesia, termasuk di Jawa.

NASKAH MELAYU DI INDONESIA
Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah naskah Melayu saat ini yang berada di Perpustakaan Nasional adalah 1346 (Noegraha, 1992:5). Di Aceh, sejumlah naskah terdapat di Pesastren Tanoh Abee (Abdullah dan al-Fairusi, 1980). Naskah-naskah Melayu yang ada di Riau hanya tertinggal sisa-sisanya saja dari jaman kegemilangan Kerajaan Riau pada abad 18 da 19.
Setelah dirunut seluruh pendataannya, nampaknya istilah naskah dipakai dalam pengertian yang lebih luas. Batasan yang dipakai sebagai patokan di dalam tulisan ini adalah naskah sebagai objek penelitian dalam kodikologi yang berupa kodeks atau naskah, yaitu manuskrip yang ditulis dengan tangan.

NASKAH MELAYU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL, JAKARTA
Orang yang pertama-tama mendaftarkan naskah-naskah Melayu yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, ialah A.B. Cohen Stuart,1871 yang seluruhnya berjumlah 76 (Van Rokel,1909:I). Di dalam prakata katalogus-nya, Ronkel selanjutnya mengutarakan masalah sekitar 919 naskAh yang didaftarkannya (Van Ronkel,1909:I-III).Menurut catatan Pudentia sebenarnya ada 921 buah (Pudentia,1991:19).Yang terdaftar di dalam katalogus Van Ronkel (1909) itu ialah naskah-naskah yang terdaftar oleh Cohen Stuart yang tersebut tadi.
Di samping koleksi-koleksi Cohen Stuart, Von de Wall, dan Brandes, terdapat naskah-naskah yang dibeli, dihadiahkan, dan dipinjamkan kepada Bataviaasch Genootschap. Naskah ini berturut-turut dicatat dengan inisial C.st.,W., dan Bat. Gen.; kemudian menyusul nomor urutnya.
   Terbitan lain mengenai naskah Melayu ialah Unsur Sejarah dalam naskah Melayu Koleksi Museum Nasional (Jusuf,1987/1988). Di dalamnya terdapat facsimile yang diperkecil dari sehelai atau dua helai yang diambil dari naskah-naskah tentang Sejarah Melayu, Hikayat Banjar dan Kotawaruingin, dan Syair Menteng.



TIGA DAFTAR NASKAH MELAYU YANG TERTUA
Ada tiga daftar tua mengenai naskah-naskah Melayu yang telah ada pada tahun-tahun 1696,1726,dan 1736 (issac de St.Martin ,Valentijn,Werndly).
1.      Naskah peninggalan Isaach de St.Martin (1696) terdapat 89 naskah
2.      Naskah dalam tulisan Valentijn (1726) terdapat 23 naskah
3.      Naskah dalam tulisan Werndly (1736) terdapat 69 buah dan ada tambahan 8 judul naskah di halaman terakhir

DAFTAR, KATALOGUS, DAN DESKRIPSI NASKAH MELAYU
Suatu katalogus naskah itu jauh lebih terurai dari suatu daftar naskah. Sebagai contoh, katalogus naskah Melayu yang ada di Jakarta, katalogus susunan Ph.S. van RONKEL (1909). Katalogus ini adalah katalogus yang terurai mengenai naskah-naskah yang tercatat di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jakarta. Sekarang naskah-naskah itu ada di Perpustakaan Nasional,Jakarta.
   Data yang dijaring dari 919 naskah ialah butir-butir berikut:
1.        Panjang dan lebar halaman naskah dalam cm
2.        Jumlah halaman
3.        Jumlah baris rata-rata satu halaman
4.        Huruf yang dipakai bukan huruf Arab Melayu
5.        Tempat dan tanggal naskah ditulis,kalau ada
6.        Asal naskah, kalau ada
7.        Sebutan di dalam  Notulen Bataviaasch Genootschap (NBG), kalau diketahui
8.        Isi secara singkat (ada yang tercangkup dalam satu baris saja,ada yang sampai beberapa halaman;kadang-kadang dicantumkan pula kutipan dalam huruf Arab Melayu) mengenai awal dan akhir teks serta kolofon.
9.        Yang pernah membicarakan naskah itu
10.    Naskah-naskah lain dengan judul yang sama yang terdapat di berbagai kota dan lembaga ditempat lain.

Sampai sekarang, katalogus yang memuat data lengkap mengenai naskah-naskah dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia tersebar di berbagai tempat di suatu Negara, ialah katalogus susunan Juynboll (1899) serta Ricklefs dan Voorhoeve (1977 dan 1982). Katalogus ini mendaftarkan semua naskah Indonesia yang disimpan didalam berbagai perpustakaan di Inggris yang seluruhnya meliputi lebih dari 1.200 entri yang tersimpan pada dua puluh empat lembaga di sepuluh kota.Data dijaring dari naskah-naskah itu akan diuraikan sebagai berikut :
1.        Judul atau catatan mengenai isi
2.        Pengarang,penyalin,dan atau pemilik yang disebut di dalam naskah
3.        Tanggal dan tempat penulisan.Tahun-tahun dalam perhitungan tahun Hijriah (A.H.) atau A.J.) biasanya hanya diikuti oleh tahun Masehi (A.D.)
4.        Jenis huruf yang dipakai didalam naskah
5.        Ukuran halaman naskah (folio atau kuarto)
6.        Jumlah halaan dalam naskah
7.        Alas naskah yang digunakan
8.        Jumlah baris pada setiap halaman
9.        Kondisi naskah,khususnya kalau tidak bagus
10.    Semua publikasi yang mengacu ke naskah (teks) yang bersangkutan
11.    Tanggal pemerolehan oleh lembaga tempat menyimpan naskah
12.    Pengacuan ke naskah-naskah dan publikasi yang ada kaitannya
13.    Catatan-catatan lain :bentuk prosa (P) atau puisi (V) dalam naskah-naskah jawa, jumlah kanto dalam karya puisi jawa; jumlah baris dalam setiap halaman pada syair Melayu, dekorasi, dll.
Berbagai data dari naskah-naskah yang hendak dideskripsi antara lain:

a)        Judul naskah
b)        Tempat penyimpanan naskah
c)        Nomor naskah
d)       Ukuran halaman
e)        Jumlah halaman
f)         Jumlah baris
g)        Panjang baris
h)        Huruf
i)          Bahasa
j)          Kertas
k)        Cap kertas
l)          Garis tebal dan garis tipis
m)      Kuras
n)        Panduan
o)        Pengarang, penyalin, tempat dan tanggal penulisan naskah
p)        Keadaan naskah
q)        Pemilik naskah
r)         Pemerolehan naskah
s)         Gambar atau ilustrasi
t)         Isi naskah
u)        Catatan lain


ALAS NASKAH DI INDONESIA
Yang disebut dengan alas naskah ialah sesuatu yang dipakai untuk menulis sehingga berbentuk suatu naskah. Jumsari Jusuf mencatat bahwa naskah-naskah di Indonesia memakai kertas daluwang, daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bamboo, dan rotan (Jusuf, 1982/1983:11).
Daluwang atau yang disebut kertas daluwang ialah kertas yang dibuat dengan kayu sebagai campuran (Soetikna, 1939:191—194; Noorduyn, 1965: 472—473). Daun lontar, daun lontar sampai sekarang ini masih dipakai di daerah-daerah Bali dan Lombok. Daun lontar masih dipakai sampai abad ke-20. Daun nipah, ada yang dipakai untuk menulis naskah, diantaranya untuk naskah-naskah Sunda.
Naskah-naskah di Batak memanfaatkan kulit kayu sebagai alas naskah. Benda yang selalu dipakai sebagai contoh ialah pustaha, yaitu semavcam buku dari kulit kayu yang dilipat-lipat seperti akordeon, yang isinya antara lain doa, petunjuk membuat obat, dan cara menolak bala.
   Bamboo dipakai dalam berbagai bentuk; ada yang bulat (satu—lima ruas), ada yang setengah bulat, dan ada yang pipih. Selain bamboo, dipakai pula rotan. Biasanya rotan yang dipakai itu dalam bentuk bulat dan agak panjang. Ada alas naskah lain yang disebut oleh Atja untuk naskah Sunda, antara lain : janur, daun enau, daun pandan, (Atja dalam Ekadjati et al;1988:9).

DAYA TAHAN NASKAH
Diperkirakan bahwa iklim yang panas dan lembab di Indonesia membuat naskah-naskah kurang bertahan lama dibandingkan dengan naskah-naskah yang sekarang disimpan di negara barat. Russell Jones pernah mengutarakan pendapatnya bahwa jarang ada naskah yang dapat bertahan lebih dari dua abad karena faktor iklim (Jones, 1974). Dari abad ke-17 dan ke-18 masih dipakai untuk menulis peristiwa-peristiwa yang terjadi sampai tahun 1871 dan 1891.

PENULISAN, PENYALINAN DAN PENYEWAAN
Penulis-penulis naskah di Indonesia, baik penulis naskah Melayu maupun penulis naskah dalam berbagai bahasa Daerah,sebagian besar tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa saja nama penulis dapat kita ketahui, biasanya tercantum di dalam kolofon. Di dalam kolofon ini, di samping nama penulis atau penyalin naskah, daat pula kita temukan tanggal dan tahun penulisan, tempat penulisan, bahkan kadang-kadang ada pula permintaan kepada pembaca untuk memperbaiki hasil kerjanya.
Penulis dan penyain naskah terdapat di dalam berbagai lapisan masyarakat, pria maupun wanita, secara terorganisasi maupun tidak, atas inisiatif sendiri atau atas pesanan. Ada yang memang berprofesisebagai penulis dan penyalin naskah. Di antara mereka, ada yang meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada jaman lampau, kita dapat menjumpai penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik oleh perorangan maupun pemerintah Belanda maupun Inggris.
Tradisi penyalinan naskah Melayu dan begitu juga dalam penyalinan naskah-naskah lain di Indonesia sangat berlainan dengan tradisi penyalinan di dunia Barat yang ketat, sampai-sampai kesalahan pun harus disalin seperti apa adanya. Penyalin naskah di Indonesia mempunyai kebebasan. Dia dapat saja memperbaiki yang dianggap salah di dalam naskah yang disalinnya, mengubah, menambah, dan mengurangi di sana-sini menurut seleranya.
Pada abad ke-19, di beberapa daerah di Indonesia terdapat temat-tempat peminjaman naskah yang di dalam berbagai tulisan disebut taman bacaan rakyat. Adanya tempat-tempat seperti itu tentulah menunjukkan bahwa masyarakat meminjam naskah untuk dibaca sendiri atau dibacakan di depan sekelompok pendengar.

CAP KERTAS
Yang dimaksud dengan cap kertas (water mark) ialah semacam ‘gambar’ pada kertas yang dapat kita lihat dengan nyat, jika kita lihat di tempat yang ada sinar matahari atau lampu dan yang juga terdapat pada uang kertas dan perangko. Jika kita lihat kertas itu di tempat yang terang akan terlihat jelas tampak garis-garis tipis. Kalau dihitung, persentimeter terdapat 8-12 garis tipis (laid lines). Jika kita lihat bahwa garis-garis tipis ini dalam posisi horisontal, dapat kita lihat pula garis-garis vertikal yang biasanya berjarak sekitar 2,5 cm. Garis-garis ini disebut dengan  garis tebal (chain line).

ILUMINASI DALAM NASKAH-NASKAH MELAYU
Secara umum dapat dikatakan bahwa naskah-naskah Melayu sangat sedikit yang bergambar dibandingkan dengan naskah-naskah Jawa dan Bali. Hiasa di dalam naskah-naskah dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu hiasan bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan munkin juga pada halaman akhir (ilumiasi) dan hiasan yang mendukung teks (ilustrasi).
Keindahan gambar berwarna-warni diselang-seling dengan tinta emas dan perak pada surat-surat, yang ditulis pada alas naskah yang bertabur emas, sungguh dapat menimbulkan rasa kekaguman pada seni menggambar dan menulis pada jaman dahulu.

KOLOFON DAN PENGANGGALAN
Didalam suatu naskah tidak selalu terdapat nama penulis, penyalin, atau keterangan lain. Informasi semacam itu biasanya ditemukan pada halaman judul, sebelum awal teks, atau pada akhir teks. Selain itu kita dapat memperoleh keterangan lain seperti tempat penulisan, tanggal, dsb. Hal semacam inilah yang disebut sebagai kolofon. Namun ada beberapa naskah yang memiliki kolofon menyebutkan informasi naskah dengan lengkap, seperti nama penulis, nama penyalin dan keterangan-keterangan lainnya. Dengan adanya kolofon ini mempermudah peniliti dalam melakukan penelitian terhadap suatu naskah, akan tetapi dengan adanya kolofon ini terkadang juga memperingatkan kepada sang peneliti agar hati-hati dalam memperlakukan naskah. Kolofon dapat ditulis dalam dua tiga kalimat saja, tetapi ada yang berupa syair yang kadang-kadang berbait panjangnya.
Penanggalan yang terdapat pada naskah biasanya terdapat pada kolofon. Biasanya ditambahkan juga penanggalan menurut tahun hijriyah terutama didalam naskah yang muda selain itu juga dicantumkan penanggalan menurut masehi. Jika ada perbedaan atau mungkin kesalahan dalam [erhitungan tanggal, itulah sebagai tugas sang filolog untuk meneliti atau untuk mengeceknya.

KEMUSNAHAN DAN PEMUSNAHAN NASKAH DI INDONESIA
Kemusnahan dan pemusnahan naskah itu memilik arti dan maksud serta makna yang berbeda. Kemusnahan naskah atau hilangnya naskah dari bumi Indonesia disebabkan oleh hal-hal ynag tidak disengaja, sedangkan pemusnahan naskah ialah akibat dari ulah manusia itu sendiri, baik disengaja ataupun tidak disengaja.
Kerusakan naskah naskah yang terjadi di Indonesia, biasanya disebabkan oleh kerusakan alas naskah  yang tidak tahan terhadap kelembaban udara sehingga seperti kertas, lontar, dan nipah mudah rusak karena tidak dapat bertahan terhadap iklim. Selain itu, kerusakan naskah juga disebabkan oleh serangga, selain itu juga ada kemusnahan naskah yang disebabkan oleh kebakaran baik disengaja ataupun tidak disengaja. Di Indonesia sendiri pun, pada jaman dahulu tidak jarang orang melakukan perobekan pada naskah dan digunakan sebagai bahan campuran dalam ramuan obat, karena pada saat itu naskah dianggap keramat. Pemusnahan naskah dapat juga terjadi karena suasana politik pada perang Kemerdekaan yang beranggggapan bahwa tulisan-tulisan lama itu berisi bid’ah.

NASKAH-NASKAH INDONESIA DI INGGRIS
Inggris merupakan salah satu negara yang pernah menjajah 2 negara yang bertetangga yaitu Indonesia dan Malaysia, oleh sebab itu di negara Inggris sendiri tersimpan banyak naskah yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Katalogus susuna Ricklefs dan Voorhoeve (1977 dan 1982) merupakan katalogus yang berisi lengkap tentang data-data Indonesia yang ada di seluruh kota di Inggris. Gallop  dan Arps mencatat di dalam Golden Letters bahwa naskah Indonesia yang paling awal tercatat di Inggris ialah dua naskah yang masing-masing ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sunda Kuno. Pada tahun 1627, naskah-naskah yang beralas lontar itu disumbangkan oleh Andrew James kepada Perpustakaan Bodleian di Universitas Oxford, dan menjadikan kedua naskah tersebut sebagai naskah yang pertama memasuki koleksi umum di Inggris. Banyak diantara naskah-naskah yang direkam di dalam rol mikrofilm yang pada zaman dahulu disalin di Yogyakarta itu dihadiahkan oleh British Council memalui pemerintah Inggris kepada Hamengkubuwana X. Pada awal tahun1991 mikrofilm tersebut dihadiahkan oleh pemerintah Inggris kepada Pemerintah Indonesia, dan untuk pertama kalinya, pada saat itulah mulai diadakannya pameran yang berisikan tentang naskah yang mulai dipamerkan pada tempat asalnya naskah tersebut.

NASKAH-NASKAH INDONESIA DI NEGERI BELANDA
Menurut pedataan yang dilakukan, dalam 22 tahun pembendaharaan naskah melayu perpustakaan  Universitas Laiden, bertambah 767 buah. Pada tahun 1974, Ismail Husain memperkirakan bahwa jumlah askah Perpustakaan Univesitas Laiden sudah mencapai kurang lebih 1500 buah. Ismail Husain juga menyebutkan ada 500 naskah melayu yang meliputi 800 judul yang kini dapat diteliti (Hussein, 1974 :11-12).
Di dalam katalogusnya (H. N. Van der Tuul) terdapat 378 naskah melayu dan 23 naskah Sunda, sehingga seluruhnya menjadi 401 naskah. Setelah itu muncullah katalogus baru oleh Van Ronkel pada tahun 1921, yang dibicarakan 767 naskah dan sesuain dengan judul katalognya, namun sebagian yang dibicarakan yaitu naskah dari minangkabau.
Di luar perpustakaan Universitas Laiden, tempat lain yang banyak memiliki naskah-naskah Melayu ialah Koninklijk Instituut voor Taal Land En Volkenkunde (KITLV) di Laiden. Ganbaran mengenai naskah-naskah yang disimpan disusun oleh Van Ronkel pada tahun 1908 yang terdapat 135 naskah dalam bahasa Batak, Lampung, Jawa, dan sekitar 50 Melayu bahkan ada yang membicarakan bahasa Belanda dalam bahasa Daerah. Di Perpustakaan Laiden terdapat berbagai macam jenis naskah, ada naskah yang berasal dari Minangkabau, ada yang berasal dari Batak, sedangkan yang terdapat di Nederland terdapat naskah naskah Makkasar dan Bugis. Suatu karya terbesar yang berisi tentang katalogus menyeluruh mengenai naskah-naskah jawa yang terdapat dibenda telah disusun oleh Theodore G.Th. Pigeund dalam empat jilid (1967-1980). Yaitu (I) ringkasan karya sastra jawa, 900-1900M, (II) daftar-daftar deskriptif mengenai naskah-nskah Jawa di Perpustakaan Universitan Laiden, (III) berbagai gambar, faksmile naskah, peta, catatan, dan indeks nama serta pokok, (IV) tambahan.

Pengertian Aktor



1.        Pengertian Aktor/Aktris
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktor/aktris adalah 1) pria/wanita yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dan sebagainya di panggung, radio, televisi, atau film; 2) orang yang berperan dalam suatu kejadian penting.

2.        Tugas Aktor/Aktris
a.       Pra-Pementasan
-       Memahami apa yang telah menjadi perannya/memahami script, sehingga aktor mampu menjadi tokoh yang diperankan.
-       Mampu berkoordinasi dan memahami sutradara.
-       Senantiasa bertanya kepada sutradara terkait peran yang didapatkannya.
-       Bersedia menerima kritik dan saran dari sutradara, lawan main atau seseorang yang menjadi pengamat.
-       Selalu berlatih dan mendalami karakter yang diperankannya.
-       Memahami dirinya sendiri.

b.      Pementasan
-       Menguasai sepenuhnya script dan peran yang telah dibawanya dalam panggung.
-       Memahami setting panggung, dari tata properti penunjang pementasan (artistik), tata lampu (lighting), dan jarak panggung dengan penonton.
-       Paham akan apa yang menjadi porsinya dalam panggung.
-       Mampu berkoordinasi dengan lawan main, dan tidak bermain peran sendiri.
-       Menghindari tindakan yang mencuri adegan pemeran lainnya.
-       Mampu berimprovisasi dengan baik dan terkontrol sehingga tidak tampak berlebih-lebihan.

3.        Perencanaan Produksi
Dalam perencanaan produksi sebuah pementasan, hal-hal yang harus dipersiapkan oleh seorang aktor/aktris:
a.         Seorang aktor/aktris dituntut untuk mampu memahami isi script  yang telah diberikan, dan mampu memahami karater tokoh yang telah diberikan oleh sutradara kepadanya.
b.         Mempersiapkan teknis pementasan. Teknis pementasan untuk kebutuhan seorang tokoh yaitu penguasaan panggung pementasan panggung, seperti sadar akan tata letak properti, properti tangan (hand property) harus diperlakukan seperti apa, dan tata lampu (lighting), harus bisa menempatkan diri pada posisi mana, sesuai arahan sutradara.

4.        Proses Latihan
Berikut tahap-tahap proses latihan yang harus dilakukan oleh aktor/aktris:
a.         Latihan Teknik:
-       Olah Rasa
-       Olah Gerak
-       Olah Vokal
b.         Membaca (reading)
-       Membaca yang bersifat literer
-       Membaca yang bersifat pengamatan
c.         Berimprovisasi
d.        Pemahaman/orientasi tata letak panggung (blocking)
e.         Evaluasi

5.        Pementasan
a.         Menguasai isi script secara keseluruhan
b.         Menyadari keadaan panggung
c.         Mampu menyesuaikan diri apabila terdapat perubahan secara mendadak.
d.        Improvisasi tidak berlebihan
e.         Selalu tenang di atas panggung pertunjukan.

6.        Evaluasi
Seorang aktor/aktris harus mau mendengar, menerima, dan mengingat-ingat kritik dan saran oleh sutradara, lawan main, dan seseorang yang menjadi pengamat sebuah pertunjukan pementasan untuk dijadikan sebuah pengalaman untuk perbaikan dalam memerankan suatu tokoh.