1.
Asumsi Dasar
Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat,
tentunya ia berrelasi dengan oran-orang lain di sekitarnya. Maka tak mengherankan
apabila terjadi interaksi dan interrelasi antara pengarang dan masyarakatnya.
Sebagai akibat lebih jauh adanya jalinan yang erat antara pengarang sebagai
anggota masyarakat, maka sering terjadi kegelisahan masyarakat menjadi
kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapan-harapan,
penderitaan-penderitaan, aspirasi masyarakat, menjadi bagian pula dari pribadi
pengarang-pengarangnya. Secara umum, persoalan kehidupan menjadi obsesi para
pengarang akan memberikan respon-respon sosialnya berikut sikap yang ersifat
memihak ataupun tidak memihak yang kesemuanya itu akan tercermin di dalam karya
seorang pengarang. Maka juga tidak aneh bila De Boland mengatakan bahwa
“Literature is expression of society, as speech is the ecpression of man”
(dalam Harry Levin, 1973 : 56).
Oleh sebab itulah kondisi sosial, sifat-sifat dan persoalan suatu jaman
dapat dibaca dalam karya-karya sastranya. Misalnya karya-karya sastra masa
Balai Pustaka sejak Siti Nurbaya sampai Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Nampak penuuh dengan persoalan adat, yaitu perbenturan adat dengan kultur Barat
yang tercermin dalam peristiwa-peristiwa kawin paksa. Tapi kalau kita teliti
sebenarmya masalah yang demikian itu hanya menjadimasalah pengarang-pengarang
asal Sumatera. Karya-karya sastra dari pengantar Jawa, Maado, Ambon dan Bali
ternyata mempunyai tema yang bereda oada jaman itu. Hal ini menunjukkan bahwa
persoalan sosial memang berpengaruh kuat terhadap wujud sastra (Yacob Sumarjo,
1982 : 16). Begitu pula misalnya karya-karya sastra Jawa pada jaman Jepang,
khususnya karya-karya yang termuat dalam lampiran majalah PanjiPustaka, akan
kita temukan beberapa cerita pendek yang ada kaitannya dengan jaman pendudukan
Jepang maupun isisnya yang berbau propaganda Jepang. Hal ini dapat kita
mengerti sebab majalah yang memuat karya sastra tersebut adalah majalah yang
dikelola pemerintah pendudukan Jepang (Suripan Sadi Hutomo, 1983 : 5). Bisa
pula kita angkat suatu contoh yang lain, misalnya ketika sastra dan agama India
(Hindu) berpengaruh kuat di Indonesia, maka akan tercermin pula pada
karya-karya sastra Jawa terutama oeriode Jawa Kuno. Hal ini sekali lagi
menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar sastra seperti ideology, politik,
agama, ekonomi, dan budaya, memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap wujud
sastra.
Melihat kenyataan-kenyataan d atas, maka dapat kita tarik suatu pengertian
bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Atau menurut Andre Harjana
(1981:71) bahwa sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (sosial vacuum).
Oleh karena itu pula hubungan yang ada antara pengarang, sastra dan masyarakat,
bukanlah sesuatu yang dicari. Bahkan selalu dapat kita tarik adanya relasi
antara pengarang, sastra dan masyarakat. Dengan demikian adalah sah apabila
kita mempersalahkan pengaruh timbale balik antara ketiga unsur tersebut. Dan
memanglah sosiologi sastra dalam kerangka kerjanya mendasarkan pada postulat
adanya hubungan tiga unsur tersebut.

2.
Sosiologi dan Sastra
Sejalan dengan
asmsi dasar yang berlaku dalam sosiologi sastra, yakni sastra tidakah hadir
dari kekosongan sosial, serta dengan mendasarkan pada postulat adanya hubungan
timbale balik antara pengarang, sastra dan masyarakat, maka kajian sosiologi
sastra merupakan suatu kajian terhadap sastra dengan mengikutsertakan atau
mempertimbangkan segi-segi luar karya sastra seperti : kondisi sosial, politik,
ideology, budaya, sejarah, ekonomi, dan sebagainya ke dalam lingkup kajiannya
dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman yang selengkap-lengkapnya terhadap
sastra sebagai gejala sosial. Dengan demikian kajian sosiologi sastra merupakan suatu kajian yang
berkembang berkat perkawinan sosiologi dengan sastra serta dalam kajian semacam
ini emungkinkan terjadinya kajian yang multidisipliner.
Sosiologi
sastra berasal dari kata sosiologi
dan sastra. Sosiologi berasal dari
kata sos (Yunani) yang berarti
bersamamu, bersatu, kawan, teman, dan logis (logos) berarti sabda, perkataan,
perumpamaan. Sastra dari akar kata sas
(Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi.
Akhiran tra berarti alat, sarana.
Merujuk dari definisi tersebut, keduannya memiliki objek yang sama yaitu
manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat
berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi sastra adalah
pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Sapardi Djoko
Darmono dalam Wahyuningtyas dan Santoso (2011:20) Sosiologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya bukan sesuatu
segi khusus masyarakat, terutama yang
berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang menyangkut interaksi dan
interelasi antarmanusia, syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Sosiologi
sastra sebagai ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi
dewasa ini bukan apa yang seharusnya terjadi. Terdapat dua kecenderungan utama
dalam telaah sosiologi sastra yang antara lain adalah pendekatan yang
berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi
belaka dan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan
yang kemudian dicari aspek-aspek sosial dari karya sastra.
Sastra
menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia
dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah
“kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Bersumber dari
pemikiran Jiwa Atmaja dalam Wahyuningtyas dan Santoso (2011
: 24)
Pemahaman sosilogis dalam sastra merupakan cara lain dalam mengimplikasikan
teori sastra yang makin berkembang. Sastra pun tak terhindarkan dari godaan ilm
sosial, yang belakangan ini menunjukkan bentuknya yang semakin kokoh. Berkaitan
dengan pernyataan Jiwa Atmaja, Jakob Soemardjo mengatakan sosiologi sastra
dengan sendirinya mempelajari sifat hubungan antaranggota masyarakat sastra dan
mengetahui sebab-sebab terciptanya hubungan itu dengan segala akibatnya. Lebih
lanjut Jakob Soemardjo mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan pengarang
merupakan salah satu anggota masyarakat, maka tak mengherankan kalau terjadi
interelasi antara pengarang dan masyarakatnya dan tentu selalu dapat ditarik sifat
hubungan antara sastra dengan masyarakat tempat pengarang hidup. Oleh sebab
itu, suatu karya sastra sering kali dianggap sebagai ekspresi pengarang. Bentuk
ini kemudian dilihat dari suatu paradigma bahwa struktur sosial pengarang dapat
mempengaruhi penciptaan bentuk karya sastra tersebut.
Sehubungan
dengan hal tersebut diatas, Jakob Soemardjo
dalam Wahyuningtyas dan Santoso (2011:25) mengatakan bahwa sifat dan
persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya-karya sastranya. Begitu pula
harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi-aspirasi masyarakat menjadi
bagian pribadi pengarang-pengarangnya. Sosiologi sastra sebagai suatu
pendekatan pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra atau
pendekatan sosiokultural terhadap sastra, Beberapa penulis telaah mencoba untuk
membuat klasifikasi tentang sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra yang
paling banyak dilakukan orang saat ini antara lain hanya menaruh perhatian yang
besar terhadap aspek dokumenter sastra. Landasannya adalah suatu gagasan bahwa
sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan
kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain.
Dalam
perkembangannya, sosiologi sastra tidak bebas dari kritik, tidak terlepas
antara sikap yang pro dan kontra. Para kritikus yang keberatan dalam penggunaan
sosiologi sastra rata-rata memiliki alas an yang kurang lebih dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a) Pendekatan sosiologi sastra kebanyakan terlalu banyak
membahas hal-hal yang bukan sastra, sehingga perhatian terhadap teks sastra itu
sendiri malah terabaikan.
b) Meraka tidak menghendaki campur tangan sosiologi, sebab
sosiologi tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat dalam
karya sastra.
c) Pendekatan sosiologi sastra memungkinkan terjadinya
“penghakiman” yang didasarkan atas kriteria etis dan politis yang sifatnya non
sastra.
Sebenarnya
adanya berbagai keberatan terhadap pendekatan sosiologi sastra semacam itu,
dalah karena beberapa karya telaah sosiologi sastra terlalu memegang keyakinan
bahwa sastra merupakan cermin jamannya dan sastra hanya berfungsi sebagai bahan
documenter murni. Dalam hal ini seringkali sebagai kriteria bukan berasal dari
kriteria sastra. Dalam hubungannya dengan kritik semacam itu, kita pun jadi
menangkap apa yang sesungguhnya diharapkan, yakni bahwa sebaiknyalah teks
sastra itu sendiri menjadi perhatian utama telaah yang kemudian diperdalam
pemahamannya lewat faktor-faktor eksternalnya. Jadi, kriteria untuk menentukan
baik buruknya suatu karya, tetap menggunakan kriteria yang berlaku dalam
sastra.
Namun terlepas dari
beberapa kritik yang disajikan ataupun kelemahan-kelemahannya, begitu pula
tidak menutup kemungkinan adanya segi yang menguntungkan, yang jelas bahwa
pendekatan sosiologi sastra merupakan sebuah alternative pendekatan sastra yang
mungkin dapat dimanfaatkan.
a. Klasifikasi
Kajian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra sebagai istilah untuk pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini, pada
dasarnya tidak berbeda dengan istilah sosio-sastra, atau sosiokultural. Dalam
sosiologi sastra sebenarnya ada berbagai cara pendekatan dan masing-masing
pendekatan didasarkan sikap dan pandangan teoritis tertentu.
Telah banyak dilakukan orang yang tercakup dalam
sosiologi sastra, baik berupa buku maupun yang berupa tulisan lepas-lepas yang
kemudian dikumpulkan dalam berbagai bunga rampai. Namun, dari sekian banyak hal
itu menurut beberapa penulis dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Menurut
Sapardi Djoko Damono (1978 : 2) ada dua kecenderungan utama dalam telaah
sosiologis terhadap sastra, yaitu:
·
Pendekatan berdasarkan
pada anggapan bahwa sastra merupakan proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan
ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra.
Sastra hanya berhargaa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra
itu sendiri. Jadi, dalam hal ini sastra tidak dianggap utama, ia hanya ephipenomenon (gejala kedua).
·
Pendekatan yang
mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaah. Metode yang dipergunakan dalam
sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, dan
untuk kemudian dipergunakan memahami
lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra.
b) Menurut
Yacob Sumarjo (1982 : 12), sekurang-kurangnya dalam kajian sosiologis ada tiga
persoalan, yaitu:
·
Persoalan yang
menyangkut mengenai bagaimana interaksi dan interrelasi antara “masyaraat
sastra”. Di sini diperlukan adanya data dari para penerbit, pengarang,
kritikus, pembaca sastra, dan para Maecenas sastra. Dalam hal ini akan
diketahui sifat-sifat hubungan masing-masing unsur masyarakat sastra lengkap
dengan analisa sebab akibatnya.
·
Persoalan yang
menyangkut tentang bagaimana sifat hubungan sebab akibat tadi dengan masyarakat
luas sejamannya. Dalam hal ini diketahui pengaruh keadaan sosial pada
sastranya.
·
Persoalan yang
mengyangkut bagaimana pengeruh sastra itu sendiri bagi bangsa, masyarakat luas
keseluruhan.
Dari ketiga persoalan pokok tadi, dapat kita lihat
gambar sastra dalam suatu bangsa, masyarakat tertentu. Manfaatnya adalah orang
bias lebih memahami sesuatu karya dalam konteks sosialnya, di samping dapat
diketahui pula fungsi sosial dan fungsi cultural sastradi tengah masyarakatnya.
c) Dalam
bukunya Pengantar Ilmu Sastra (1984 : 23), Jan Van Luxemburg, Mieke Baldan
Willem G. westseijn, mengatakan bahwa dalam meneliti hubungan antara sastra dan
masyarakat dapat memakai berbagai cara, antara lain:
·
Yang diteliti adalah
faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra, teks sastra itu
sendiri tidak ditinjau. Dengan demikian kita misalnya dapat eneliti kedudukan
pengarang di dalam masyarakat,siding pembaca, dunia penerbitan, dan seterusnya.
Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak
menggunakan pendekatan ilmu sastra.
·
Yang diteliti adalah
hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat. Sastra pun
dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Sementara ahli
sosiologi sastra sering bertolak dari suatu pandangan sosial atau politik
tertentu. Mereka mempunyai suatu pendapat yang jelas bagaimana seharusnya
masyarakat itu dan bersikap kritis terhadap tata masyarakat yang sedang
berlaku. Menurut hemat mereka sikap kritis itu berkaitan erat dengan penilaian
kita terhadap sastra yang sedang diteliti. Penilaian itu hanya berdasarkan
norma-norma estetik, politik dan etik. Peneliti tidak hanya menentukan
bagaimana pengarang menampilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan juga
menilai pandangan pengarang.
d) Menurut
penulis lain, yakni Wellek dan Warren (1956 : 84) membuat tiga klasifikasi
dalam pendekatan sosiologi sastra, yaitu:
·
Sosiologi pengarang
yang mempermasalahkan status sosial, ideology sosial dan lain-lain yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
·
Sosiologi karya sastra
yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri,dan yang menjadi pokok
penelaahan adalah apa yang tersirat dalamkarya sastra adan apa yang menjadi
ujuannya.
·
Sosiologi sastra yang
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
e) Klasifikasi
yang dibuat Ian Watt (dalam Sapari Djoko Damono, 1978 : 3) sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan klasifikasi yang dibuat oleh Wellek dan Warren di atas,
yaitu:
·
Kontek sosial
pengarang. Klasifikasi yang pertama ini ada kaitannya dengan posisi sosial
pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok
ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bias mempengaruhi isi karya
sastranya. Dalam klasifikasi yang harus diteliti adalah:
-
Bagaimana si pengarang
mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom, atau
dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap.
-
Prosfesionalisme dalam
kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu
profesi.
-
Masyarakat apa yang
dituju oleh pengarang, hunungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini
sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra.
·
Sastra sebagai cermin
masyarakat. Dalam hal ini sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan
keadaan masyarakat. Dalam klasifikasi ini yang terutama mendapat perhatian
adalah:
-
Sastra mungkin tidak
dapat dikatakan cerminan masyarakat pada waktu itu ia ditulis, sebab banyak
ciri-ciri masyarakat yang ditampikan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku
lagi pada waktu ia ditulis.
-
Sifat khas seorang
pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam
karyanya.
-
Genre sastra sering
merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh
masyarakat.
-
Sastra yang berusaha
untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bias
dipercaya sebagai cermin masyarakat.
·
Fungsi sosial sastra.
Dalam hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
-
Seberapa jauh sastra
dinilai berfungsi sebagai pembaharuan atau perombakan.
-
Seberapa jauh sastra
dinilai berfungsi sebagai penghibur belaka.
-
Seberapa jauh sastra
dinilai berfungsi sebagai alat pengajaran sesuatu hal dengan cara menghibur.
Grebstein (dalam
Sapardi Djoko Damono, 1978 : 4) yang memakai istilah pendekatan sosiokultural untuk
pendekatan sosiologi sastra, akhirnya membuat kesimpulan sebagai berikut:
a) Bahwa
karya sastra tidak dapat dipahamai secara selengkap-lengkapnya apabila
dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang menghasilkan.
Kesimpulan
awal yang dikemukakan oleh Grebtein ini, agaknya sejajar dengan apa yang
dikemukakan Teew (1984 : 140) dalam rangka menunjukkan kelemahan pendekatan
strukturalisme. Menurut Teew, karya sastra tidak dapat diteliti secara
terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar
belakang sejarah. Emikian pula analisis yang menekankan otonomi karya itu
seperti dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.
b) Gagasan
yang ada dalam kara sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik
penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan
oleh gagasan tersebut.
c) Setiap
karya sastra yang bias bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik
dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan
orang-orang.
d) Masyarakat
dapat mendekati karya sastra dari dua arah:
·
Sebagai suatu kekuatan
atau faktor moral material yang istimewa
·
Sebagai tradisi, yakni
kecenderungan spiritual maupun cultural yang bersifat koloktif.
e) Kritik
sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih.
f) Kritikus
bertanggung jawab, baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang.
Demikianlah yang
tersaji dalam klasifikasi dalam pendekatan sosiologi sastra yang berkembang
hingga saat ini. Kritikus sosiologi sastra, bias melakukan kegiatannya dengan
mendasarkan pada klasifikasi yang belum tercakup dalam klasifikasi yang telah
dipaparkan di atas.
3.
Strukturalisme genetic
Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung sosiologi
sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldman.
Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan terhadap
pendekatan strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa
memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.
Strukturalisme
genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di
dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang
menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldman bermaksud menjembatani jurang pemisah antara
pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).
Dari sudut
pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik memiliki arti penting,
karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya
sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono,
1979:42). Hakikatnya
karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang turut
mengkondisikan penciptaan karya sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor luar tersebut. Menurut Goldmann,
struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari
proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi
yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan
(Faruk, 1999b:12). Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya
sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk di aktivitas
strukturasi yang sama (Faruk, 1999b:15).
Pendekatan
yang dikembangkan oleh Goldman adalah strukturalisme historis yang disebutnya
pendekatan strukturalisme genetic. Dalam hal ini Goldman mencoba untuk
menyatukan analisis struktural dengan materialism historis dan dialektik.
Adapun teori pendekatan yang dikembangkan Goldman
itu dapat dirumuskan. Sebagai berikut;
1. Pengarang
sebagai salah satu anggota masyarakat sangat dimungkinkan untuk diobsesi oleh
kondisi lingkungan sosial budaya tertentu dan kemudian melahirkan hanya sastra
yang mencerminkan respon-respon sosialnya.
2. Dalam
menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya tersebut, ada tiga tahapan yang
dialami pengarang (Goldman, dalam Elisabeth, (ed), 1973: 118-119), yaitu:
a) Pengarang
cenderung untuk mengdaptasi realitas lingkungannya secara khas dengan
mempergunakan nalar (rasionality) serta member makna kepalanya (significant)
b) Pengarang
cenderung untuk berbuat konsisten dakam semua hal cenderung menciptakan
bentuk-bentuk struktural.
c) Secara
dinamik pengarang cenderung untuk mengubah dan mengembangkan struktur dimana ia
sendiri menjadi bagiannya.
3. Apabila
ketiga tahapan itu telah dilalui pleh seorang pengarang, maka akhirnya akan
muncul dari dalam dirinya suatu sikap budaya yang bersifat individual (Respon
personal).
Kemudian
didalam kajiannya Boldman mempergunakan metode sebagai berikut :
Pertama-tama
meneliti struktur-struktur tertentu dalam teks, dan selanjutnya menghubungkan
struktur-struktur tersebut dengan kondisi sosial dan historis, yang konkrit
dengan kelompok sosial dan kelas sosial yang mengikat si pengarang , dan dengan
pandangan dunia kelas yang bersangkutan. Perhatian utama memang dicurahkan
kepada teks itu sendiri sebagai suatu keutuhan dan kepada ejarah sebagai suatu
proses.
Pendekatan
Goldman ini menyimpulkan suatu abstraksi, suatu pandangan dunia, dari kelompok
sosial dan teks yang di analisis tersebut. Selanjutnya pandangan dunia itu
dijadikan model praltis, ia selanjutnya kembali kepada teks untuk menjelaskan
totalitasnya dengan menggunakan model itu sebagai acuan. Inti metode ini adalah
gerak perhatian yang terus-menerus berpindah-pindah anatar teks, struktural
sosial (kelompok dan kelas sosial) dan model antara abtraksi dan yang konkrit.
Mengenai konsep pandangan dunia (World vision) yang dimaksud
Goldman adalah suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total
terhadap dunia yang mengkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya.
Sebagai contoh pandangan dunia ini misalnya: Empiris, Rasionalisme, dan
pandangan tragic. Goldman menegaskan pula bahwa pandangan dunia erat sekali
hubungannya dengan kelas-kelas sosial, dan nahkan pandangan dunia selalu
merupakan pandangan kelas sosial.
Lebih jauh Goldman menjelaskan bahwa
pandangan dunia merupakan struktur gagasan,aspirasi, dan perasaan yang dapat
menyatukan suatu kelompok sosial dihadapan suatu kelompok sosial lain, jadi
dengan demikian pandangan dunia merupakan suatu bentuk kesadaran kelompok
kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki
identitas kolektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar