Sabtu, 25 Februari 2017

Kajian Sosiologi Sastra



1.        Asumsi Dasar
Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, tentunya ia berrelasi dengan oran-orang lain di sekitarnya. Maka tak mengherankan apabila terjadi interaksi dan interrelasi antara pengarang dan masyarakatnya. Sebagai akibat lebih jauh adanya jalinan yang erat antara pengarang sebagai anggota masyarakat, maka sering terjadi kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi masyarakat, menjadi bagian pula dari pribadi pengarang-pengarangnya. Secara umum, persoalan kehidupan menjadi obsesi para pengarang akan memberikan respon-respon sosialnya berikut sikap yang ersifat memihak ataupun tidak memihak yang kesemuanya itu akan tercermin di dalam karya seorang pengarang. Maka juga tidak aneh bila De Boland mengatakan bahwa “Literature is expression of society, as speech is the ecpression of man” (dalam Harry Levin, 1973 : 56).
Oleh sebab itulah kondisi sosial, sifat-sifat dan persoalan suatu jaman dapat dibaca dalam karya-karya sastranya. Misalnya karya-karya sastra masa Balai Pustaka sejak Siti Nurbaya sampai Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Nampak penuuh dengan persoalan adat, yaitu perbenturan adat dengan kultur Barat yang tercermin dalam peristiwa-peristiwa kawin paksa. Tapi kalau kita teliti sebenarmya masalah yang demikian itu hanya menjadimasalah pengarang-pengarang asal Sumatera. Karya-karya sastra dari pengantar Jawa, Maado, Ambon dan Bali ternyata mempunyai tema yang bereda oada jaman itu. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan sosial memang berpengaruh kuat terhadap wujud sastra (Yacob Sumarjo, 1982 : 16). Begitu pula misalnya karya-karya sastra Jawa pada jaman Jepang, khususnya karya-karya yang termuat dalam lampiran majalah PanjiPustaka, akan kita temukan beberapa cerita pendek yang ada kaitannya dengan jaman pendudukan Jepang maupun isisnya yang berbau propaganda Jepang. Hal ini dapat kita mengerti sebab majalah yang memuat karya sastra tersebut adalah majalah yang dikelola pemerintah pendudukan Jepang (Suripan Sadi Hutomo, 1983 : 5). Bisa pula kita angkat suatu contoh yang lain, misalnya ketika sastra dan agama India (Hindu) berpengaruh kuat di Indonesia, maka akan tercermin pula pada karya-karya sastra Jawa terutama oeriode Jawa Kuno. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar sastra seperti ideology, politik, agama, ekonomi, dan budaya, memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap wujud sastra.
Melihat kenyataan-kenyataan d atas, maka dapat kita tarik suatu pengertian bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Atau menurut Andre Harjana (1981:71) bahwa sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (sosial vacuum). Oleh karena itu pula hubungan yang ada antara pengarang, sastra dan masyarakat, bukanlah sesuatu yang dicari. Bahkan selalu dapat kita tarik adanya relasi antara pengarang, sastra dan masyarakat. Dengan demikian adalah sah apabila kita mempersalahkan pengaruh timbale balik antara ketiga unsur tersebut. Dan memanglah sosiologi sastra dalam kerangka kerjanya mendasarkan pada postulat adanya hubungan tiga unsur tersebut.








2.        Sosiologi dan Sastra
Sejalan dengan asmsi dasar yang berlaku dalam sosiologi sastra, yakni sastra tidakah hadir dari kekosongan sosial, serta dengan mendasarkan pada postulat adanya hubungan timbale balik antara pengarang, sastra dan masyarakat, maka kajian sosiologi sastra merupakan suatu kajian terhadap sastra dengan mengikutsertakan atau mempertimbangkan segi-segi luar karya sastra seperti : kondisi sosial, politik, ideology, budaya, sejarah, ekonomi, dan sebagainya ke dalam lingkup kajiannya dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman yang selengkap-lengkapnya terhadap sastra sebagai gejala sosial. Dengan demikian kajian sosiologi sastra merupakan suatu kajian yang berkembang berkat perkawinan sosiologi dengan sastra serta dalam kajian semacam ini emungkinkan terjadinya kajian yang multidisipliner.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersamamu, bersatu, kawan, teman, dan logis (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduannya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Sapardi Djoko Darmono dalam Wahyuningtyas dan Santoso (2011:20) Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya bukan sesuatu segi  khusus masyarakat, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang menyangkut interaksi dan interelasi antarmanusia, syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Sosiologi sastra sebagai ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini bukan apa yang seharusnya terjadi. Terdapat dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra yang antara lain adalah pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka dan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan yang kemudian dicari aspek-aspek sosial dari karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Bersumber dari pemikiran Jiwa Atmaja dalam Wahyuningtyas dan Santoso (2011 : 24) Pemahaman sosilogis dalam sastra merupakan cara lain dalam mengimplikasikan teori sastra yang makin berkembang. Sastra pun tak terhindarkan dari godaan ilm sosial, yang belakangan ini menunjukkan bentuknya yang semakin kokoh. Berkaitan dengan pernyataan Jiwa Atmaja, Jakob Soemardjo mengatakan sosiologi sastra dengan sendirinya mempelajari sifat hubungan antaranggota masyarakat sastra dan mengetahui sebab-sebab terciptanya hubungan itu dengan segala akibatnya. Lebih lanjut Jakob Soemardjo mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan pengarang merupakan salah satu anggota masyarakat, maka tak mengherankan kalau terjadi interelasi antara pengarang dan masyarakatnya dan tentu selalu dapat ditarik sifat hubungan antara sastra dengan masyarakat tempat pengarang hidup. Oleh sebab itu, suatu karya sastra sering kali dianggap sebagai ekspresi pengarang. Bentuk ini kemudian dilihat dari suatu paradigma bahwa struktur sosial pengarang dapat mempengaruhi penciptaan bentuk karya sastra tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Jakob Soemardjo  dalam Wahyuningtyas dan Santoso (2011:25) mengatakan bahwa sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya-karya sastranya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi-aspirasi masyarakat menjadi bagian pribadi pengarang-pengarangnya. Sosiologi sastra sebagai suatu pendekatan pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra, Beberapa penulis telaah mencoba untuk membuat klasifikasi tentang sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan orang saat ini antara lain hanya menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra. Landasannya adalah suatu gagasan bahwa sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, sosiologi sastra tidak bebas dari kritik, tidak terlepas antara sikap yang pro dan kontra. Para kritikus yang keberatan dalam penggunaan sosiologi sastra rata-rata memiliki alas an yang kurang lebih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a)      Pendekatan sosiologi sastra kebanyakan terlalu banyak membahas hal-hal yang bukan sastra, sehingga perhatian terhadap teks sastra itu sendiri malah terabaikan.
b)      Meraka tidak menghendaki campur tangan sosiologi, sebab sosiologi tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat dalam karya sastra.
c)      Pendekatan sosiologi sastra memungkinkan terjadinya “penghakiman” yang didasarkan atas kriteria etis dan politis yang sifatnya non sastra.
Sebenarnya adanya berbagai keberatan terhadap pendekatan sosiologi sastra semacam itu, dalah karena beberapa karya telaah sosiologi sastra terlalu memegang keyakinan bahwa sastra merupakan cermin jamannya dan sastra hanya berfungsi sebagai bahan documenter murni. Dalam hal ini seringkali sebagai kriteria bukan berasal dari kriteria sastra. Dalam hubungannya dengan kritik semacam itu, kita pun jadi menangkap apa yang sesungguhnya diharapkan, yakni bahwa sebaiknyalah teks sastra itu sendiri menjadi perhatian utama telaah yang kemudian diperdalam pemahamannya lewat faktor-faktor eksternalnya. Jadi, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu karya, tetap menggunakan kriteria yang berlaku dalam sastra.
Namun terlepas dari beberapa kritik yang disajikan ataupun kelemahan-kelemahannya, begitu pula tidak menutup kemungkinan adanya segi yang menguntungkan, yang jelas bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan sebuah alternative pendekatan sastra yang mungkin dapat dimanfaatkan.
a.       Klasifikasi Kajian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra sebagai istilah untuk pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini, pada dasarnya tidak berbeda dengan istilah sosio-sastra, atau sosiokultural. Dalam sosiologi sastra sebenarnya ada berbagai cara pendekatan dan masing-masing pendekatan didasarkan sikap dan pandangan teoritis tertentu.
Telah banyak dilakukan orang yang tercakup dalam sosiologi sastra, baik berupa buku maupun yang berupa tulisan lepas-lepas yang kemudian dikumpulkan dalam berbagai bunga rampai. Namun, dari sekian banyak hal itu menurut beberapa penulis dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)      Menurut Sapardi Djoko Damono (1978 : 2) ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu:
·         Pendekatan berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berhargaa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jadi, dalam hal ini sastra tidak dianggap utama, ia hanya ephipenomenon (gejala kedua).
·         Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaah. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, dan untuk kemudian  dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra.
b)      Menurut Yacob Sumarjo (1982 : 12), sekurang-kurangnya dalam kajian sosiologis ada tiga persoalan, yaitu:
·         Persoalan yang menyangkut mengenai bagaimana interaksi dan interrelasi antara “masyaraat sastra”. Di sini diperlukan adanya data dari para penerbit, pengarang, kritikus, pembaca sastra, dan para Maecenas sastra. Dalam hal ini akan diketahui sifat-sifat hubungan masing-masing unsur masyarakat sastra lengkap dengan analisa sebab akibatnya.
·         Persoalan yang menyangkut tentang bagaimana sifat hubungan sebab akibat tadi dengan masyarakat luas sejamannya. Dalam hal ini diketahui pengaruh keadaan sosial pada sastranya.
·         Persoalan yang mengyangkut bagaimana pengeruh sastra itu sendiri bagi bangsa, masyarakat luas keseluruhan.
Dari ketiga persoalan pokok tadi, dapat kita lihat gambar sastra dalam suatu bangsa, masyarakat tertentu. Manfaatnya adalah orang bias lebih memahami sesuatu karya dalam konteks sosialnya, di samping dapat diketahui pula fungsi sosial dan fungsi cultural sastradi tengah masyarakatnya.
c)      Dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra (1984 : 23), Jan Van Luxemburg, Mieke Baldan Willem G. westseijn, mengatakan bahwa dalam meneliti hubungan antara sastra dan masyarakat dapat memakai berbagai cara, antara lain:
·         Yang diteliti adalah faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra, teks sastra itu sendiri tidak ditinjau. Dengan demikian kita misalnya dapat eneliti kedudukan pengarang di dalam masyarakat,siding pembaca, dunia penerbitan, dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
·         Yang diteliti adalah hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Sementara ahli sosiologi sastra sering bertolak dari suatu pandangan sosial atau politik tertentu. Mereka mempunyai suatu pendapat yang jelas bagaimana seharusnya masyarakat itu dan bersikap kritis terhadap tata masyarakat yang sedang berlaku. Menurut hemat mereka sikap kritis itu berkaitan erat dengan penilaian kita terhadap sastra yang sedang diteliti. Penilaian itu hanya berdasarkan norma-norma estetik, politik dan etik. Peneliti tidak hanya menentukan bagaimana pengarang menampilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.
d)     Menurut penulis lain, yakni Wellek dan Warren (1956 : 84) membuat tiga klasifikasi dalam pendekatan sosiologi sastra, yaitu:
·         Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideology sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
·         Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri,dan yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalamkarya sastra adan apa yang menjadi ujuannya.
·         Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
e)      Klasifikasi yang dibuat Ian Watt (dalam Sapari Djoko Damono, 1978 : 3) sebenarnya tidak jauh berbeda dengan klasifikasi yang dibuat oleh Wellek dan Warren di atas, yaitu:
·         Kontek sosial pengarang. Klasifikasi yang pertama ini ada kaitannya dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bias mempengaruhi isi karya sastranya. Dalam klasifikasi yang harus diteliti adalah:
-          Bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom, atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap.
-          Prosfesionalisme dalam kepengarangan, sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
-          Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang, hunungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra.
·         Sastra sebagai cermin masyarakat. Dalam hal ini sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat. Dalam klasifikasi ini yang terutama mendapat perhatian adalah:
-          Sastra mungkin tidak dapat dikatakan cerminan masyarakat pada waktu itu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampikan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
-          Sifat khas seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
-          Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
-          Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bias dipercaya sebagai cermin masyarakat.
·         Fungsi sosial sastra. Dalam hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
-          Seberapa jauh sastra dinilai berfungsi sebagai pembaharuan atau perombakan.
-          Seberapa jauh sastra dinilai berfungsi sebagai penghibur belaka.
-          Seberapa jauh sastra dinilai berfungsi sebagai alat pengajaran sesuatu hal dengan cara menghibur.
Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono, 1978 : 4) yang memakai istilah pendekatan sosiokultural untuk pendekatan sosiologi sastra, akhirnya membuat kesimpulan sebagai berikut:
a)      Bahwa karya sastra tidak dapat dipahamai secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang menghasilkan.
Kesimpulan awal yang dikemukakan oleh Grebtein ini, agaknya sejajar dengan apa yang dikemukakan Teew (1984 : 140) dalam rangka menunjukkan kelemahan pendekatan strukturalisme. Menurut Teew, karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah. Emikian pula analisis yang menekankan otonomi karya itu seperti dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.
b)      Gagasan yang ada dalam kara sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut.
c)      Setiap karya sastra yang bias bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-orang.
d)     Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah:
·         Sebagai suatu kekuatan atau faktor moral material yang istimewa
·         Sebagai tradisi, yakni kecenderungan spiritual maupun cultural yang bersifat koloktif.
e)      Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih.
f)       Kritikus bertanggung jawab, baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang.
Demikianlah yang tersaji dalam klasifikasi dalam pendekatan sosiologi sastra yang berkembang hingga saat ini. Kritikus sosiologi sastra, bias melakukan kegiatannya dengan mendasarkan pada klasifikasi yang belum tercakup dalam klasifikasi yang telah dipaparkan di atas.

3.        Strukturalisme genetic
Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung sosiologi sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldman. Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.
Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldman bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).
Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik memiliki arti penting, karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono, 1979:42). Hakikatnya karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor luar tersebut. Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1999b:12). Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk di aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1999b:15).
     Pendekatan yang dikembangkan oleh Goldman adalah strukturalisme historis yang disebutnya pendekatan strukturalisme genetic. Dalam hal ini Goldman mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialism historis dan dialektik.
Adapun teori pendekatan yang dikembangkan Goldman itu dapat dirumuskan. Sebagai berikut;
1.    Pengarang sebagai salah satu anggota masyarakat sangat dimungkinkan untuk diobsesi oleh kondisi lingkungan sosial budaya tertentu dan kemudian melahirkan hanya sastra yang mencerminkan respon-respon sosialnya.
2.    Dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya tersebut, ada tiga tahapan yang dialami pengarang (Goldman, dalam Elisabeth, (ed), 1973: 118-119), yaitu:
a)      Pengarang cenderung untuk mengdaptasi realitas lingkungannya secara khas dengan mempergunakan nalar (rasionality) serta member makna kepalanya (significant)
b)      Pengarang cenderung untuk berbuat konsisten dakam semua hal cenderung menciptakan bentuk-bentuk struktural.
c)      Secara dinamik pengarang cenderung untuk mengubah dan mengembangkan struktur dimana ia sendiri menjadi bagiannya.

3.      Apabila ketiga tahapan itu telah dilalui pleh seorang pengarang, maka akhirnya akan muncul dari dalam dirinya suatu sikap budaya yang bersifat individual (Respon personal).
Kemudian didalam kajiannya Boldman mempergunakan metode sebagai berikut :
Pertama-tama meneliti struktur-struktur tertentu dalam teks, dan selanjutnya menghubungkan struktur-struktur tersebut dengan kondisi sosial dan historis, yang konkrit dengan kelompok sosial dan kelas sosial yang mengikat si pengarang , dan dengan pandangan dunia kelas yang bersangkutan. Perhatian utama memang dicurahkan kepada teks itu sendiri sebagai suatu keutuhan dan kepada ejarah sebagai suatu proses.
Pendekatan Goldman ini menyimpulkan suatu abstraksi, suatu pandangan dunia, dari kelompok sosial dan teks yang di analisis tersebut. Selanjutnya pandangan dunia itu dijadikan model praltis, ia selanjutnya kembali kepada teks untuk menjelaskan totalitasnya dengan menggunakan model itu sebagai acuan. Inti metode ini adalah gerak perhatian yang terus-menerus berpindah-pindah anatar teks, struktural sosial (kelompok dan kelas sosial) dan model antara abtraksi dan yang konkrit.
     Mengenai konsep pandangan dunia (World vision) yang dimaksud Goldman adalah suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mengkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Sebagai contoh pandangan dunia ini misalnya: Empiris, Rasionalisme, dan pandangan tragic. Goldman menegaskan pula bahwa pandangan dunia erat sekali hubungannya dengan kelas-kelas sosial, dan nahkan pandangan dunia selalu merupakan pandangan kelas sosial.
     Lebih jauh Goldman menjelaskan bahwa pandangan dunia merupakan struktur gagasan,aspirasi, dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial dihadapan suatu kelompok sosial lain, jadi dengan demikian pandangan dunia merupakan suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar